Hallo para
penakluk alam.. sudah berapa panorama puncak yang sudah anda nikmati? Sudah
seberapa besar rasa cinta anda terhadap nikmat tuhan yang luar biasa ini?
Pada kesempatan
kali ini saya akan berbagi salah satu pengalaman unik saya saat menaklukan
puncak Guntur. Sebagai informasi saja bagi calon pendaki, guntur adalah gunung
api yang untuk sementara belum aktif, memiliki enam puncak, dengan puncak
ke-tiga sebagai puncak tertingginya. Track ke sini cukup menanjak, berbatu, dan
tanah disini lembab dan labil, serta di lalui satu sungai kecil yang bersumber
dari atas.
Bagi anda
yang sering atau pernah ke Guntur pasti merasakan kesulitan yang cukup berarti
saat menjajali track-nya, mungkin
bagi pandaki di Jawa Barat sudah tahu dengan track Guntur yang sangat menantang di bandingkan dengan Gunung lain
di Jawa Barat, ditambah lagi, jika saat musim hujan biasanya pengelola menutup
jalur pendakian, karena banyak terdapat titik longsor yang akan membahayakan
para pendaki.
Perjalanan
ke pos terakhir guntur bisa di tempuh sekitar 2 sampai 3 jam tergantung
situasi, dengan track yang terjal dan
berbatu tentu akan sedikit menguras energy anda, di tambah sungai- sungai kecil
berbatu yang mau tidak mau harus anda seberangi jika ingin meneruskan perjalanan. Namun diluar semua itu ada sesuatu yang bisa anda lakukan untuk membayar semua tenaga waktu dan usaha anda, saat sang fajar menampakan tabirnya ke puncak gunung Guntur. Boleh dibilang sebuah challenge/ tantangan yang agak sedikit konyol, namun bisa mengajarkan anda sesuatu, terpikir secara sepontan dari pikiran saya dan langsung saya tantang teman- teman yang lain untuk ikut melakukan.
berbatu yang mau tidak mau harus anda seberangi jika ingin meneruskan perjalanan. Namun diluar semua itu ada sesuatu yang bisa anda lakukan untuk membayar semua tenaga waktu dan usaha anda, saat sang fajar menampakan tabirnya ke puncak gunung Guntur. Boleh dibilang sebuah challenge/ tantangan yang agak sedikit konyol, namun bisa mengajarkan anda sesuatu, terpikir secara sepontan dari pikiran saya dan langsung saya tantang teman- teman yang lain untuk ikut melakukan.
Dari pos
terakhir menuju puncak, kami berangkat pukul 3 pagi, hanya membawa satu tas
ransel sebagai tempat membawa logistik yang di butuhkan saat di puncak nanti.
Saat itu saya hanya menggunakan dua stel baju kaos lengan panjang dan pendek
yang di pakai bersamaan, serta celana cino skiny hitam yang sepanjang
perjalanan agak sedikit mengganggu, mungkin rekomendasi juga buat teman- teman
yang akan mendaki, di sarankan untuk tidak menggunakan celana jeans skiny atau
sejenisnya, karena bisa menghambat kaki anda untuk melangkah secara leluasa,
yang kemungkinan terburuknya bisa mengakibatkan cidera. Cuaca saat itu agak sedikit
berkabut setelah sepanjang malam di dera hujan berkali-kali, namun bintang-
bintang di langit masih jelas terlihat. Situasi saat itu tidak begitu ramai,
hanya beberapa kelompok pendaki dengan cahaya senternya yang terlihat ikut
mendaki ke puncak.
Sedikti
demi sedikti tanjakan kami taklukan, namun puncak yang terlihat jauh belum juga
terlihat dekat, track yang berbatu
serta tanah yang labil, membuat kami harus waspada pada setiap pijakan, karena
bisa berakibat fatal bagi diri senidiri dan orang lain yang berada di bawah,
sempat terdengar beberapa kali peringatan rock’s!!
dan batu!!, membuat perjalanan kali itu agak sedikit mencekam, namun syukur
tidak ada kejadian yang begitu berarti pagi itu.
Tak terasa
setelah beberapa kali break dan
cahaya lampu senter kami yang mulai redup, puncak yang tadi jauh sudah mulai
terlihat, seakan menyamangati kami untuk kembali mendaki. Sekitar 20 meter dari
lokasi break terakhir tadi kami sudah
menginjakan kaki di puncak pertama gunung Guntur. Dan pas saat itu cahaya kuning
keemasan cahaya matahari pagi sudah mulai terlihat, menandakan sebentar lagi matahari
akan terlihat menembus permukaan awan. Saat itu kerlap- kerlip city light kota Garut masih terlihat
jelas, dan bintang- bintang kala itu
masih hadir menyambut fajar untuk bangkti.
Saat
menikmati penorama sebelum sunrise
yang begitu indah tadi, seketika terlintas dipikiran saya sebuah tantangan yang
sedikit konyol. Tantangannya yaitu harus bertelanjang dada sampai matahari
benar- benar terlihat, saya lengsung menantang seorang teman untuk mengadu
ketangkasan menahan terpaan angin dingin puncak Guntur. Satu, dua, tiga,
sekejap kami telah membuka baju kami, sekarang kami hanya di hangatkan celana
dan tracking yang sudah mulai berat oleh tanah yang menempel. Awal- awal memang
terasa sangat dingin, hingga sampai menusuk tulang, namun sugesti bahwa Guntur
termasuk gunung yang panas menguatkan tubuh saya untuk tetap bertahan. Sudah
sepuluh menit kami bertahan, matahari sudah sedikit terlihat, angin gunung kala
itu berhembus cukup kuat membuat kami tidak bisa hanya diam, karena akan menambah
dingin suhu tubuh kami. Setelah kurang lebih 20 menit bertahan, akhirnya kami
bisa menikmati fenomena sunrise yang
menakjubkan dari puncak pertama Guntur bersama kedinginan yang semakin menyiksa.
Namun saat
matahari semakin melihatkan tabirnya ke permukaan awan, seraya mata dimanjakan
dengan indahnya pemandangan samudera di atas awan, tubuh yang masih menggigil
tadi sekarang telah mendapatkan suatu nikmat yang tidak bisa dibeli dengan uang
sekalipun, suatu nikmat yang sangat patut untuk disukuri, nikmat sang pencipta.
Hangatnya pancaran matahari seakan memeberi pelukan terhangatnya, menembus ke
sekujur tubuh yang sudah menggigil. Dan inilah makna yang tersimpan dari
challenge yang sepintas terlihat konyol tadi, ke-konyolan yang mengajarkan kami
sesuatu. Pelajaran tentang bagaimana tuhan memperlihatkan salah satu kebesaran
nikmatnya yang pantas dibayar dengan panjatan puji syukur dari hambanya.
Matahari
semakin naik ke atas, namun kami masih betah berlama- lama di puncak pertama
Guntur. Dan sangat berat hati untuk melanjutkan perjalanan ke puncak tiga,
puncak tertinggi guntur. Singkat cerita, kami hanya melanjutkan perjalanan ke
puncak dua, karena waktu dan cuaca yang tidak kondusif lagi.
Berdasarkan
pengalaman saya selama ini, belum banyak dari kita yang belum bisa menikmati
alam sebagai nikmat tuhan dengan sepenuhnya, menikmati disini berarti menikmati
serta mensyukurinya. Maka kata- kata “Pecinta Alam” hanya pantas di berikan
kepada mereka para penikmat alam, yang melakukan perjalanan alam,
menaklukannya, serta mensyukurinya.
Sekian,
Terimakasih..
Comments
Post a Comment