Skip to main content

"2.622 MDPL PAPANDAYAN PASCA RENOVASI"

PEMBUKA.

Sebagai pembuka postingan kali ini saya ingin memanjatkan puji syukur yang sebesar- besarnya kepada Allah S.W.T,yang mana berkat ijin-Nya lah saya dapat menulis kembali di blog "kesayangan" segala kalangan ini. Selanjutnya rasa terimakasih saya sampaikan kepada pembaca sekalian yang taidak henti-hentinya terus menggali informasi melalui tulisan yang seada-adanya ini.
MULAI.
Sabtu tiga Maret menjadi tanggal keberangkatan saya bersama seorang teman menuju ke hangatnya pelukan kabut Papandayan. Kenapa memilih papandayan? Hmm.. Alasannya
tidak banyak, satu; karena belum pernah, dua; rasa penasaran dengan jalur pendakian yang katanya baru direnofasi jadi tidak terlalu berat bagi saya yang sudah dua tahun tidak pernah mendaki gunung ini.
Tanggal yang sudah saya ditentukan dari 3 hari tadi merupakan tanggal yang cukup baik untuk melakukan pendakian, selain kesibukan yang tidak terlalu mengganggu juga prakiraan cuaca yang sedang baik di wilayah pegunungan Garut (fyi: saya melakukan survey cuaca ke lapak mbah google, dan didapati bahwa akhir pekan pegunungan Papandayan akan berkabut diiiringi hujan, hmm.. dari faktor cuaca cukup tidak mendukung). Mengapa tanggalnya baru direncanakan tiga hari?, Yaa boleh dibilang bagi kalian yang sering merasakan kegagalan saat ingin melakukan suatu perjalanan liburan pasti proses planning yang terlalu "panjang lebar" merupakan salah satu akibatnya.

Preparation.
Hal pertama yang saya lakukan sebelum memulai persiapan adalah membongkar tabungan. Hal ini saya lakukan supaya perjalanan ini tidak semata- mata dibiayai oleh orang tua melalui rekening transferan uang bulanan, namun hasil jerih payah berhemat- hemat saya sendiri, karena akan sangat berbeda rasanya ketika anda bersenang- senang dengan uang anda sendiri atau dengan uang pemberian orang tua atau orang lain, itu prinsip!.
Setelah memastikan kapasitas tabungan bisa memadai perjalanan ini, selanjutnya saya mulai melengkapi kebutuhan peralatan yang akan menunjang aktifitas pendakian, seperti tas gunung atau carrier, sepatu tracking, celana tracking, jaket tebal, kain shawl/kupluk/buff dan sarung tangan, satu set baju ganti, serta yang sangat tidak boleh ditinggalkan adalah mantel, itu adalah peralatan wajib dan tentu saja saya membawa peralatan yang bersifat sekunder seperti base layer (baju dalam olahraga) sendal, dan lain sebagainya. Setelah proses melengkapi peralatan dan perlengkapan selesai kami langsung beralih ke tahap selanjutnya yaitu packagging atau packing.

Verangkat.
Perjalanan dari Bandung kami mulai pada pukul sebelas pagi (menjelang siang), sebenarnya sudah cukup terlambat dari perencanaan awal jika tidak ingin kehujanan ditengah  perjalanan. Hampir empat jam perjalanan sebelum kami sampai di indomaret terakhir sebelum kami memasuki kawasan yang cukup sepi sehingga tidak memungkinkan untuk melengkapi logistik. Setelah berbagi tugas kami langsung menjalankan tugas masing- masing, teman saya membeli logistik ke pasar, sedangkan saya menjaga barang- barang (hmm.. sungguh tanggung jawab yang berat sekali).
Dari Indomaret kami langsung memacu gas kendaraan kami ke lapangan parkir pendakian Papandayan jaraknya sekitar 10 km dari indomaret terakhir. Dengan hujan yang cukup deras kami berhasil sampai di gerbang pendaftaran kurang lebih pada pukul enam sore, melakukan regristasi dan sedikit obrolan penghangat pikiran dengan petugas disana kami langsung beranjak ke tempat parkir atau penitipan kendaraan yang berjarak tidak jauh yaitu sekitar 100 m.

Nanjak Cuy.
Setelah melakukan persiapan akhir seperti menitipkan kendaraan, lapor ke pos keamanan dan pendataan, kami sudah mulai tracking pada pukul sembilan belas lewat empat belas menit. Ya memang sudah cukup telat untuk tracking tapi apa boleh buat, niat kuat tak punya penghalang. Kondisi cuaca saat itu cukup ekstrim bagi saya yang sudah dua tahun tidak pernah ke gunung. Hujan, kabut tebal, serta embun yang berbau belerang, efek yang saya rasakan pada saat itu adalah susah bernafas karena selain udara embun dan bau belerang juga ikut terhirup, dingin dan basah, lalu sedikit rasa takut karena jarak pandang yang hanya 2 sampai 3 meter, akhh.. memang sebuah kewajaran yang harus dimaklumi jika memilih untuk bermain ke gunung.
Pos pertama yang kami hampiri adalah persimpagan pos hoberbout dan hutan mati. Disana kami rehat sejanak sekitar dua puluh menit, setelah itu melanjutkan perjalanan ke pos hoberhout. Oh iya, dari pos persimpangan kami seperti mendapati sinyal dari sesorang dari Pintu Angin (sepertinya security )melalui cahaya senter/lampu tembak yang di arahkan ke arah kami. Ada cerita menarik ketika kami sampai di pos persimpangan, karena "tema" yang kami ambil dalam trip kali ini adalah nyantai, jadi banyak tempat untuk kami berhenti saat melakukan tracking dari pos ke pos, jadi saat ingin melanjutkan perjalanan ke arah pintu angin/hoberhout teman saya secara inisiatif melakukan pengecekan barang bawaan, dan yang ditakutkan pun terjadi, salah satu barang jinjingan kami ketinggalan disalahsatu tempat kami berhenti sebelum sampai di pos persimpangan, dan barang tersebut sangat penting untuk kebutuhan perut kami, yaitu telur. Tanpa pikir panjang kami tinggalkan carrier kami masing- masing dan kembali turun untuk menjemput telur yang jika dibiarkan akan sangat mubazir (fyi: jumlah telurnya 6 butir cuy, jadi lumayan bisa makan enam kali). Dengan mengucap syukur dan sedikit kesal dalam hati telur sudah kembali ke pangkuan.

Hoberhout. 
Singkat cerita, setelah melewati berbagai bentuk pos pemberhentian yang kami ciptakan sendiri, kami sampai di pos pengamanan pertama yaitu hoberhout. Sebelum sampai dan merebahkan cerrier kami langsung disambut hangat seorang security paruh baya, dan candaan ibu- ibu warung perihal telur yang sama sekali bukan kami anggap candaan.
Obrolan penghangat relung jiwa kembali tercipta tatkala saya dan teman saya sibuk berbalas kata dengan bapak- bapak security, ditengah obrolan juga sempat datang satu rombongan pendaki yang berjumlah tujuh orang yang sama- sama berasal dari Bandung, tawar- menawar makanan terjadi. Sekitar dua puluh menit kami habisakan di hoberhout lalu kami kembali melanjutkan perjalanan sebelum ibu- ibu warung memaksa kami bermukim di bumi perkemahan daerah sana.

Pondok Saladah.
Selepas dari hoberhout track yang harus kami hadapi cukup sulit, mulai dari menembus rapatnya pepohonan, hingga harus melalui semak belukar dengan tanah yang licin, ditambah dengan jejak ban tahu motor cross yang menuntut keberhati-hatian para pendaki yang tidak ingin melanjutkan perjalanan dengan kubangan di sekujur tubuhnya. Dengan hujan dan kabut yang belum mau berhenti pada saat itu, dan perut yang mulai terasa lapar kami selesaikan tracking terakhir pada malam itu dengan sorakan pelepas penat sekali seorang secara bersamaan, Pondok Saladah didepan mata. Seperti di hoberhout, pak security langsung menyambut kami sekalian menanyakan kami beberapa hal terkait korban, eh perjalanan maksudnya, lalu memberi kami saran agar menggantung segala macam bentuk logistik di atas pohon, hal ini tersebut harus dilakukan agar tidak mengundang para Babi liar untuk mendekat. Hal pertama yang kami lakuakan setelah itu adalah mencari lokasi strategis untuk mendirikan tenda, sekaligus mencari pohon yang pas untuk dipasangi hammock.
...
Lokasi sudah didapat, dan hammock juga sudah tergantung rapih, saatnya menyusun barang bawaan ke dalam tenda. Tapi saat saya sedang menyusun barang- barang didalam tenda, tiba- tiba terdengar suara histeris bersorak pelan... babii!! Saya yang berada di tenda dengan setengah badan keluar berusaha untuk tetap tenang supaya tidak menarik perhatian si Babi untuk menanduk tubuh bagian bawah saya. Perlahan saya keluar dari tenda dan saya dapati seekor babi seukuran anak kerbau sedang merampas makanan tenda orang lain di depan kami dengan santainya, layaknya seekor kucing peliharaan yang sedang memakan makanan sisa majikannya. Sorakan teman saya terdengar oleh bapak security dan langsung mengusir babi yang sedang sedikit lagi berhasil melahap semua yang dia ambil dari tenda tersebut. Lucunya babi tersebut tidak merasa dikejar oleh bapak security, layaknya seorang anak kecil yang dipaksa pulang kerumah saat sedang asik bermain diluar (susahnya mencari persamaan), babi tersebut dengan santainya berjalan di depan bapak security.
Hal ini harus menjadi catatan bagi kalian yang akan ngcamp di papandayan khususnya di kawasan pondok saladah. (1) gantung lah segala jenis bentuk logistik di atas pohon dengan ketinggian minimal 2 meter, (2) jangan mojok sendiri,kalau bisa dirikan tenda di dekat tenda yang lain, atau kalau perlu dekat dengan warung- warung yang masih berjaga.(3)siapkan bawang putih iris untuk disebar disekitar tenda supaya babi tidak mendekat, karena babi pada umunya takut pada aroma bawang putih. Tragedi babi tersebut seolah- olah merupakan ucapan selamat datang dari penghuni papandayan kepada kami, dan karena kejadian tersebut saya dan teman saya tidak berani untuk berdiam di tenda, karena tenda yang kami dirikan berbatasan langsung dengan semak belukar tempat si babi bersembunyi, kami memilih untuk bergabung dengan beberapa pendaki yang sedang menghangatkan diri di api unggun warung, dengan bermodalkan gitar, kami bergabung ke kehangatan obrolah warung atas gunung malam itu.

Papandayan Sekarang.
Dari obrolan- obrolan yang tercipta, saya dapatkan informasi bahwa saat ini Papandayan telah di kelola oleh PT. Indah Asri (kalau tidak salah), yaitu PT. yang sama dengan pengelola kawasan wisata Tangkuban Perahu di Lembang, beralih dari pengelolaan pemda yang sebelumnya sangat seada-adanya. Jadi dengan pengelola yang baru ini seolaholah Papandayan akan dijadikan kawasan wisata konvensional, yang artinya terbuka untuk siapa saja dengan tujuan apa saja, bukan hanya untuk pendaki, tapi untuk turis harian juga. Hal ini membuat harga tiket masuk papandayan pun meroket naik, bagi para pendaki yang sebeumnya sudah pernah ke Papandayan hanya membayar sekitar dua puluh ribu rupiah (Rp. 20.0000) untuk parkir dan tiket masuk, sekarang untuk saya dan teman saya saja kami mengahibiskan seratus empat puluh ribu rupiah (Rp. 140.000)untuk dua tiket masuk dan satu unit motor, jika dikurangi dengan motor (Rp. 17.000) maka didapat seratus tiga puluh tiga rupiah (Rp. 133.000) untuk tiket masuk, berarti sekitar enam puluh enam ribu (Rp. 66.000) per orang untuk tiket masuk, kurang lebih naik tiga kali lipat dari sebelumnya (untuk weekend), sangat fantastis. Tetapi hal tersebut juga sebanding dengan fasilitas yang diberikan oleh pengeleola. Jalur pendakian yang sudah diperbagus, pengamanan yang cukup ketat di tiap posnya, termasuk jaminan bagi kawasan tertentu (selain kawasan Tegal Alun/jalur pendakian ke puncak masih dalam jaminan keselamatan) Informasi lain yang saya dapat adalah, ada dua ekor babi "penguasa" di sekitar bumi perkemahan, yaitu bernama Omen dan Ceko, tidak tahu dari mana asal nama tersebut tapi yang penting keberadaan mereka sangat meresahkan camp. Ketika subuh menjelang kami langsung bersiap- siap untuk melanjutkan perjalanan ke perhentian utama kami, yaitu puncak Papandayan. Perjalanan kami mulai pukul empat pagi, 5. degan membawa satu tas cerrier yang berisikan peralatan memasak kopi, karean kami akan menikmati luasnya hamparan edelweis ditemani hangatnya kopi pagi hari.

Tegal Alun.
Tegal alun boleh dibilang tujuan akhir bagi para pendaki yang kurang tertarik untuk menaklukan puncak, karena ketinggian tegal alun hampir menyamai ketinggian puncak, yaa kurang lebih beda 10 sampai 12 meter, disisi lain puncak Papandayan yang tidak seperti puncak gunung pada umumunya, jika puncak gunung- gunung lain berupa hamparan luas dengsn view yang jelas terlihat kebawah, berbeda dengan pucak Papandayan yang ditumbuhi pepohonan dan semak- semak.
Ada sedikit kekeliruan yang saya lihat pada penempatan puncak Papandayan ini, sebagian ada yang bilang puncaknya berada di Tegal Alun atau di padang edelweis, sebagai lagi mengatakan puncakya ya ada di ketinggian tertinggi Papandayan, yaitu naik sedikit lagi dari Tegal alun. Mungkin karena pucak tertinggi Papandayan ini berada di tengah semak seperti yang saya bilang tadi maka sebagaian orang lebih memilih menempatkan sendiri puncak Papndayan di Tegal Alun. Bagi saya pribadi, puncak ya puncak, yaitu tempat tertinggi dari tempat tersebut, jadi Tegal Alun belum lah bisa dikatakan puncak Papandayan. Perjalanan dari Pondok Saladah kami mulai kurang lebih pada pukul empat pagi. Kali ini kami tidak hanya berdua, obrolan di warung unggunan semalam membuat kenalan kami bertambah, alhasil ada sekitar 7 orang yang ikut dengan kami nanjak ke Tegal alun. Track menanjak yang cukup curang kami lalui secara perlahan, mengingat ada dua pendaki perempuan yang ikut dengan kami. Dengan sedikit mengurungkan niat untuk bisa cepat sampai, kami memilih untuk sering berhenti untuk mengambil napas seraya menunggu yang lain mendekat. Medan track yang cukup berat membuat kami terbagi atas dua rombongan atau grup, grup satu yaitu yang memimpin tracking terdiri dari saya, teman saya, dan salah seorang kenalan dari ibukota, grup yang kedua terdiri dari dua pasang laki- laki dan perempuan, yang kami sendiri tidak tahu asalnya darimana.
Pukul lima lewat lima belas menit grup satu sudah menginjakakan kaki di Tegal Alun. Subhannallah.. Dalam hati saya berkata, sangat indah sekali, hamparan luas bunga edelweis yang tidak terlalu mekar membuat mata susah untuk berkedip, meskipun keadaan saat itu masih gelap, namun tak sedikitpun mengurangi rasa kagum saya terhadap tempat ini. Sejenak kami melepas penat di plang yang bertuliskan "ANDA BERADA DI WILAYAH KONSERVASI TEGAL ALUN", seraya menunggu grup dua datang.
KIU!!KIU!!KIU!! Teman saya bersorak bak manusia hutan, sebagai sinyal yang dikirimkan ke rombongan dibelakang kami, untuk mengetahui jarak kami dengan mereka, bagi kalian yang sering naik gunug khususnya di wilayah garut dan sekitarnya pasti tidak asing lagi dengan suara tersebut. Tak lama suara 6. itu dilontarkan, datang balasan yang menandakan grup dua sudah dekat. Jadi kami bisa melanjutkan perjalanan ke tujuan selanjutnya, yaitu Danau.
Dari awal sebenarnya tujuan utama saya dan teman saya adalah puncak Papandayan yang tertutup hutan seperti yang saya katakan diatas, salah satu petunjuk untuk menemukan track ke puncak yaitu danau Tegal Alun, nah tanpa pikir panjang kami langsung melanjutkan perjalanan dengan mengikuti track yang sudah ada, sekitar lima menit berjalan di tengah padang edelweis kami sudah meliat hamparan genangan air yang cukup luas, yap! Itu lah danau, sebenarnya lebih terlihat seperti telaga sih (menurut persepsi saya terhadap danau, karena di Sumatera sana tidak ada sebuah perairan yang luasnya kurang dari 1 km persegi disebut dengan danau). Saya tidak tau nama danau tersebut karena setiap mendengar obrolan perihal danau tersebut tak sekali pun saya dengar tentang namanya. Disana kami tidak bisa berlama- lama, karena niat ingin menikmati sunset di puncak kami harus segera melanjutkan perjalanan yang tinggal "selangkah" lagi, tentunya setelah mengambil beberapa gambar melalui kamera ponsel kami masingmasing.

Puncak Papandayan.
Nah disini ada kejadian yang tidak biasa, bagi kalian yang bepersepsi negatif pasti sudah berimajinasi atau membayangkan hal- hal yang diluar akal sehat. pukul lima lewat lima puluh lima menit dari danau kami beranjak ke daerah peopohonan lebat (hutan) yang lembab. Tracknya cukup menanjak sehingga kami harus berhati- hati jika tidak ingin terpeleset dan berguling- guling lalu tercebur ke danau. Beberapa menit perjalanan berlalu sampai kami menyadari tidak ada track atau jalur yang benar, setiap track yang kami pilih selalu mengarah ke akar/ranting pohon Cantigi yang seolah- olah menghalangi kami untuk lewat, lama rasanya waktu yang kami habiskan untuk berputar- putar, hingga bolak balik sampai pada akhirnya kami menyadari bahwa track yang kami pilih sudah kami lalui sebelumnya, teman dari ibukota sudah berpikir negatif dan membuat saya pun ikut terpengaruh dalam pikiran- pikiran negatif, kami pun memutuskan untuk kembali, setelah melakukan beberapa kali percobaan yang kurang berhasil.
Sebenarnya ada sekali percobaan yang agak berhasil, dari tempat tersebut kami sudah bisa melihat pepohonan dipuncak, namun lagi- lagi (alam seperti berkonspirasi) ada tumbuhan ilalang yang sangat rapat sehingga menghalangi jalur kami. Selanjutnya kami hanya bisa pasrah terhadap alam dan menikmati tiap detiknya di danau dan Tegal Alun.
Lama kami habiskan waktu di sana, mulai dari bernyanyi- nyanyi, berfoto- foto ria, sampai menyeduh kopi hangat yang membuat sempurna pagi itu, ingat usahakan sebaik mungkin tidak mengganggu keberadaan Edelweisnya ya apalagi memetik, sangat tidak disarankan bagi kita yang masih mau dibilang manusia waras. Hangatnya matahari sudah mulai teras terik dikulit, saatnya kami beranjak meninggalkan Tegal Alun beserta 7. Edelwisnya yang menawan.

Hutan Mati.
Tempat ini adalah primadona bagi turis- turis papandayan yang bisa dibilang masih awam. Kenapa pakai kata "awam"?, ya, karena Hutan Mati belum bisa menyaingi ke-primadonaan Tegal Alun (menurut persepsi saya), bukan berarti saya tidak menyukai Hutan Mati, tapi saya agak sedikit kecewa dengan persepsi masayarakat, memang Hutan Mati sangat indah bahkan menawan dan mempunyai aura tersendiri, tapi dengan persepsi masyarakat tersebut membuat seolah- olah menutupi keberadaan Tegal Alun dengan cerita- cerita tentang keindahan Hutan Mati. Mungkin hanya pikiran saya saja atau memang begitu adanya. Jadi saran saya bagi pendaki- pendaki papandayan(bukan turis harian), jika sanggup, kuatkanlah kaki kalian untuk bisa selangkah lagi menaklukan tanjakan bukit untuk sampai ke Tegal Alun, supaya kalian tahu bahwa Papandayan itu tidak Hanya hutan Mati saja, tidak hanya Kawah belerang saja, tapi juga ada satu tempat yang tak kalah indahnya. buat dunia tahu bahwa Papandayan mempunyai banyak tempat- tempat menawan. Saya menyusul teman saya yang sudah terlebih dulu sampai di hutan mati, karena sebelumnya saya membantu teman dari ibukota untuk berfoto-foto, karena dia ingin langsung kembali ke camp. Pada saat kami turun, pendaki lain mulai banyak yang naik ke arah Tegal Alun, kami seolah melawan arus. Suatu kebanggaan tersendiri ketika kita bisa sampai disuatu tempat selangkah didepan yang lain, Ahay!.
Memang indahnya Hutan Mati punya ciri khasnya sendiri, apalagi ditambah dengan hangatnya pagi hari, membuat pagi saya sangat sempurna, satu hal yang sangat saya syukuri pagi itu adalah belum adanya kabut yang dihasilkan pegunungan sehingga mata bisa sepuas mungkin memandangi keindahan pegunungan Papandayan, tak peduli sejauh apapun itu, Hutan Mati tak terasa begitu mati, mereka hidup memaluk setiap pendaki dengan auranya yang sangat mengesankan. Beberapa menit kami habiskan di Hutan Mati, kami harus segera kembali ke camp sebelum perut melakukan pemberontakan di internal perut kami. Sempat tersesat, karena jalur yang kami lalui dari camp ke Tegal Alun tidak sama dengan jalur dari camp ke hutan mati, tapi tidak begitu merusuhkan sehingga tak lama kami sudah berada pada jalur yang tepat.

PULANG.
Arloji menunjukan pukul sebelas lewat empat puluh menit, kami harus segera turun sebelum kami diguyur gerimis bersambut kabut tebal. Setelah melahap santap siang yang kami masak seada- adanya, kami langsung packing dan membersihkan area tenda supaya tidak maninggalkan jejak apapun. 8. Lagi- lagi ada seorang kenalan dari unggunan malam hari menawarkan kami untuk ikut turun bersama. Tanpa menolak tawaran tersebut kami langsung bergegas menyelesaikan "operasi sapu bersih" dan langsung melangkahkan kaki untuk pulang, tentunya setelah kami melakukan pengecekan ulang untuk menjegah adanya ketertinggalan barang bawaan. Kurang lebih tiga jam perjalanan menuruni tanjakan berbatu mengambil jalur Hutan Mati-pos persimpangan hingga sampai di gerbang masuk.
Berbeda dengan saat menuruni gunung- gunung yang lain pada siang hari, jika disini banyak sekali turisturis harian yang mulai memadati jalur ke Hutan Mati, layaknya turis harian yang tidak perlu melengkapi diri dengan perlengkapan tracking membuat proses pendaki turun agak sedikit terhambat. Namun hal tersebut tidak terlalu menjadi masalah karena kami juga tidak terlalu terburuburu. Karena pada malam hari melewati jalur yang sama keadaan sangat gelap, sehingga tidak dapat terlihat apa- apa kecuali track yang kami pijaki, membuat saya terkagum- kagum, tak disangka perkiraan jalur yang di lihat saat gelap ternyata sangat indah pada siang hari. Hal tersebut cukup untuk ditempatkan sebagai momen perpisahaan saya dengan Papandayan. Tubuh yang terasa sangat letih karena tidak adanya waktu kami untuk istirahat (tidur), memaksa kami harus segera melapor ke pos keamanan, membeli souvenir, dan langsung mengambil kendaraan lalu sesegera mungkin meninggalkan camp David (lapangan Parkir).

Sebenarnya banyak cerita menyedihkan yang terjadi ketika perjalanan pulang, tapi dirasa itu adalah tindakan kurang pintar dan kurang mengandung unsur pelajaran didalamnya maka sebaiknya tidak dituliskan disini. Mulai dari janjian dengan kenalan yang sesama turun dibatalakan secara sepihak oleh kami, rasa letih yang membuat berkendara kami sangat- sangat tidak savety. Semuanya terjadi karena efek kurang tidur, hujan, dan kurangnya personel sehingga hanya kekuatan dari dua orang kurang tidur yang dimaksimalkan saat perjalanan pulang. Perjalanan Garut- Bandung terasa seperti perjalanan ekspedisi Sabang- Maraoke (lebay ah!)

Berikut saya persembahakan beberapa "mahakarya", sebagai penutup postingan edisi 2622 mdpl Papandayam Kali ini,
Sekian, Salam Petualang.











Music by: Banda Neira.


Comments

Popular posts from this blog

LINTAS JALUR GUNUNG GEDE (PUTRI-CIBODAS)

Sebuah kutipan berbunyi "Bukan Gunung yang kita taklukan, melainkan diri kita sendiri", begitulah pesan yang membekas dari perjalanan kali ini. 

BANDUNG RASA BELITUNG; KEDAI KOPI KONG DJIE BANDUNG

PEMBUKA Sewaktu saya berkesampatan main ke Belitung akhir 2016 lalu, ada dua hal menarik yang saya perhatikan   sepanjang perjalanan menuju satu destinasi ke destinasi lain, yaitu lengangnya jalanan dan ramainya kedai kopi. Hampir setiap bangunan umum disini (khususnya di daerah kota) pasti didiami juga oleh satu kedai kopi. Kedai kopi disini bukan seperti kedai- kedai kopi yang lebih seperti warung kopi pada umumnya, yang varian kopinya hanya mengikuti varian yang dikeluarkan oleh merek- merek kopi “sobek”. Tapi kedai- kedai kopi disini menghidangkan kopi- kopi yang diracik langsung oleh pembuatnya di kedai kopi tersebut. Usut- punya usut (hmm kata- kata yang familiar), masyarakat Belitung dan kopi ternyata sudah memiliki hubungan yang erat dari dulu, ada istilah yang yang mengatakan “tiada hari tanpa ngopi di Belitung” (lambung orang- orang Belitung kuat- kuat semua ya). Namun saya tidak akan berceriat lebih dalam tentang masyarakat Belitung dan Kopi, karena teman- te...

"KOMUNITAS TRAVEL BLOGGER INDONESIA"

Berbicara tentang komunitas blogger rasanya masih agak asing bagi saya, pengalaman saya tentang bloging yang bisa dibilang masih sangat dini membuat saya belum banyak tahu tentang komunitas yang satu ini, ya mau tidak mau sih, sebagai “pekerja” bloging rasanya tidak mungkin bisa berdiri sendiri tanpa adanya Network yang baik. Jika di bawakan kepada arti kata Komunitas itu sendiri dapat diartikan sebagai tempat atau forum berkumpulnya beberapa orang dengan hobby dan atau latar belakang maksud yang sama sebagai cara untuk saling berbagi dan bertukar pengalaman satu sama lain, dari komunitas ini kita bisa mendapatkan banyak hal yang memiliki andil besar untuk perkembangan bidang anda. Tidak hanya itu dari bergabungnya kita dengan