PEMBUKA.
Sebagai pembuka postingan kali ini saya ingin
memanjatkan puji syukur yang sebesar- besarnya kepada Allah S.W.T,yang mana
berkat ijin-Nya lah saya dapat menulis kembali di blog "kesayangan"
segala kalangan ini. Selanjutnya rasa terimakasih saya sampaikan kepada pembaca
sekalian yang taidak henti-hentinya terus menggali informasi melalui tulisan
yang seada-adanya ini.
MULAI.
Sabtu tiga Maret menjadi tanggal keberangkatan saya
bersama seorang teman menuju ke hangatnya pelukan kabut Papandayan. Kenapa
memilih papandayan? Hmm.. Alasannya
tidak banyak, satu; karena belum pernah,
dua; rasa penasaran dengan jalur pendakian yang katanya baru direnofasi jadi
tidak terlalu berat bagi saya yang sudah dua tahun tidak pernah mendaki gunung
ini.
Tanggal yang sudah saya ditentukan dari 3 hari tadi
merupakan tanggal yang cukup baik untuk melakukan pendakian, selain kesibukan
yang tidak terlalu mengganggu juga prakiraan cuaca yang sedang baik di wilayah
pegunungan Garut
(fyi: saya melakukan survey cuaca ke
lapak mbah google, dan didapati bahwa akhir pekan pegunungan Papandayan
akan berkabut diiiringi hujan, hmm.. dari faktor cuaca cukup tidak mendukung).
Mengapa tanggalnya baru direncanakan tiga hari?, Yaa boleh dibilang bagi kalian
yang sering merasakan kegagalan saat ingin melakukan suatu perjalanan liburan
pasti proses planning yang terlalu "panjang lebar" merupakan salah
satu akibatnya.
Preparation.
Hal pertama yang saya lakukan sebelum memulai
persiapan adalah membongkar tabungan. Hal ini saya lakukan supaya perjalanan
ini tidak semata- mata dibiayai oleh orang tua melalui rekening transferan uang
bulanan, namun hasil jerih payah berhemat- hemat saya sendiri, karena akan
sangat berbeda rasanya ketika anda bersenang- senang dengan uang anda sendiri
atau dengan uang pemberian orang tua atau orang lain, itu prinsip!.
Setelah memastikan kapasitas tabungan bisa memadai
perjalanan ini, selanjutnya saya mulai melengkapi kebutuhan peralatan yang akan
menunjang aktifitas pendakian, seperti tas gunung atau carrier, sepatu tracking,
celana tracking, jaket tebal, kain shawl/kupluk/buff dan sarung tangan, satu
set baju ganti, serta yang sangat tidak boleh ditinggalkan adalah mantel, itu
adalah peralatan wajib dan tentu saja saya membawa peralatan yang bersifat
sekunder seperti base layer (baju dalam olahraga) sendal, dan lain sebagainya.
Setelah proses melengkapi peralatan dan perlengkapan selesai kami langsung
beralih ke tahap selanjutnya yaitu packagging atau packing.
Verangkat.
Perjalanan dari Bandung kami mulai pada pukul sebelas
pagi (menjelang siang), sebenarnya sudah cukup terlambat dari perencanaan awal
jika tidak ingin kehujanan ditengah
perjalanan. Hampir empat jam perjalanan sebelum kami sampai di indomaret
terakhir sebelum kami memasuki kawasan yang cukup sepi sehingga tidak
memungkinkan untuk melengkapi logistik. Setelah berbagi tugas kami langsung
menjalankan tugas masing- masing, teman saya membeli logistik ke pasar,
sedangkan saya menjaga barang- barang (hmm.. sungguh tanggung jawab yang berat
sekali).
Dari Indomaret kami langsung memacu gas kendaraan
kami ke lapangan parkir pendakian Papandayan jaraknya sekitar 10 km dari
indomaret terakhir. Dengan hujan yang cukup deras kami berhasil sampai di
gerbang pendaftaran kurang lebih pada pukul enam sore, melakukan regristasi dan
sedikit obrolan penghangat pikiran dengan petugas disana kami langsung beranjak
ke tempat parkir atau penitipan kendaraan yang berjarak tidak jauh yaitu
sekitar 100 m.
Nanjak Cuy.
Setelah melakukan persiapan akhir seperti menitipkan
kendaraan, lapor ke pos keamanan dan pendataan, kami sudah mulai tracking pada
pukul sembilan belas lewat empat belas menit. Ya memang sudah cukup telat untuk
tracking tapi apa boleh buat, niat kuat tak punya penghalang. Kondisi cuaca
saat itu cukup ekstrim bagi saya yang sudah dua tahun tidak pernah ke gunung.
Hujan, kabut tebal, serta embun yang berbau belerang, efek yang saya rasakan
pada saat itu adalah susah bernafas karena selain udara embun dan bau belerang
juga ikut terhirup, dingin dan basah, lalu sedikit rasa takut karena jarak
pandang yang hanya 2 sampai 3 meter, akhh.. memang sebuah kewajaran yang harus
dimaklumi jika memilih untuk bermain ke gunung.
Pos pertama yang kami hampiri adalah persimpagan pos
hoberbout dan hutan mati. Disana kami rehat sejanak sekitar dua puluh menit,
setelah itu melanjutkan perjalanan ke pos hoberhout. Oh iya, dari pos
persimpangan kami seperti mendapati sinyal dari sesorang dari Pintu Angin
(sepertinya security )melalui cahaya senter/lampu tembak yang di arahkan ke
arah kami. Ada cerita menarik ketika kami sampai di pos persimpangan, karena
"tema" yang kami ambil dalam trip kali ini adalah nyantai, jadi
banyak tempat untuk kami berhenti saat melakukan tracking dari pos ke pos, jadi
saat ingin melanjutkan perjalanan ke arah pintu angin/hoberhout teman saya
secara inisiatif melakukan pengecekan barang bawaan, dan yang ditakutkan pun
terjadi, salah satu barang jinjingan kami ketinggalan disalahsatu tempat kami
berhenti sebelum sampai di pos persimpangan, dan barang tersebut sangat penting
untuk kebutuhan perut kami, yaitu telur. Tanpa pikir panjang kami tinggalkan
carrier kami masing- masing dan kembali turun untuk menjemput telur yang jika
dibiarkan akan sangat mubazir (fyi: jumlah telurnya 6 butir cuy, jadi lumayan
bisa makan enam kali). Dengan mengucap syukur dan sedikit kesal dalam hati
telur sudah kembali ke pangkuan.
Hoberhout.
Singkat cerita, setelah melewati berbagai bentuk pos
pemberhentian yang kami ciptakan sendiri, kami sampai di pos pengamanan pertama
yaitu hoberhout. Sebelum sampai dan merebahkan cerrier kami langsung disambut
hangat seorang security paruh baya, dan candaan ibu- ibu warung perihal telur
yang sama sekali bukan kami anggap candaan.
Obrolan penghangat relung jiwa kembali tercipta
tatkala saya dan teman saya sibuk berbalas kata dengan bapak- bapak security,
ditengah obrolan juga sempat datang satu rombongan pendaki yang berjumlah tujuh
orang yang sama- sama berasal dari Bandung, tawar- menawar makanan terjadi.
Sekitar dua puluh menit kami habisakan di hoberhout lalu kami kembali
melanjutkan perjalanan sebelum ibu- ibu warung memaksa kami bermukim di bumi
perkemahan daerah sana.
Pondok Saladah.
Selepas dari hoberhout track yang harus kami hadapi
cukup sulit, mulai dari menembus rapatnya pepohonan, hingga harus melalui semak
belukar dengan tanah yang licin, ditambah dengan jejak ban tahu motor cross
yang menuntut keberhati-hatian para pendaki yang tidak ingin melanjutkan
perjalanan dengan kubangan di sekujur tubuhnya. Dengan hujan dan kabut yang
belum mau berhenti pada saat itu, dan perut yang mulai terasa lapar kami
selesaikan tracking terakhir pada malam itu dengan sorakan pelepas penat sekali
seorang secara bersamaan, Pondok Saladah didepan mata. Seperti di hoberhout,
pak security langsung menyambut kami sekalian menanyakan kami beberapa hal
terkait korban, eh perjalanan maksudnya, lalu memberi kami saran agar
menggantung segala macam bentuk logistik di atas pohon, hal ini tersebut harus
dilakukan agar tidak mengundang para Babi liar untuk mendekat. Hal pertama yang
kami lakuakan setelah itu adalah mencari lokasi strategis untuk mendirikan
tenda, sekaligus mencari pohon yang pas untuk dipasangi hammock.
...
Lokasi sudah didapat, dan hammock juga sudah
tergantung rapih, saatnya menyusun barang bawaan ke dalam tenda. Tapi saat saya
sedang menyusun barang- barang didalam tenda, tiba- tiba terdengar suara
histeris bersorak pelan... babii!! Saya yang berada di tenda dengan setengah
badan keluar berusaha untuk tetap tenang supaya tidak menarik perhatian si Babi
untuk menanduk tubuh bagian bawah saya. Perlahan saya keluar dari tenda dan
saya dapati seekor babi seukuran anak kerbau sedang merampas makanan tenda
orang lain di depan kami dengan santainya, layaknya seekor kucing peliharaan
yang sedang memakan makanan sisa majikannya. Sorakan teman saya terdengar oleh
bapak security dan langsung mengusir babi yang sedang sedikit lagi berhasil
melahap semua yang dia ambil dari tenda tersebut. Lucunya babi tersebut tidak
merasa dikejar oleh bapak security, layaknya seorang anak kecil yang dipaksa
pulang kerumah saat sedang asik bermain diluar (susahnya mencari persamaan),
babi tersebut dengan santainya berjalan di depan bapak security.
Hal ini harus menjadi catatan bagi kalian yang akan
ngcamp di papandayan khususnya di kawasan pondok saladah. (1) gantung lah
segala jenis bentuk logistik di atas pohon dengan ketinggian minimal 2 meter,
(2) jangan mojok sendiri,kalau bisa dirikan tenda di dekat tenda yang lain,
atau kalau perlu dekat dengan warung- warung yang masih berjaga.(3)siapkan
bawang putih iris untuk disebar disekitar tenda supaya babi tidak mendekat,
karena babi pada umunya takut pada aroma bawang putih. Tragedi babi tersebut
seolah- olah merupakan ucapan selamat datang dari penghuni papandayan kepada
kami, dan karena kejadian tersebut saya dan teman saya tidak berani untuk
berdiam di tenda, karena tenda yang kami dirikan berbatasan langsung dengan
semak belukar tempat si babi bersembunyi, kami memilih untuk bergabung dengan
beberapa pendaki yang sedang menghangatkan diri di api unggun warung, dengan
bermodalkan gitar, kami bergabung ke kehangatan obrolah warung atas gunung
malam itu.
Papandayan Sekarang.
Dari obrolan- obrolan yang tercipta, saya dapatkan
informasi bahwa saat ini Papandayan telah di kelola oleh PT. Indah Asri (kalau
tidak salah), yaitu PT. yang sama dengan pengelola kawasan wisata Tangkuban
Perahu di Lembang, beralih dari pengelolaan pemda yang sebelumnya sangat
seada-adanya. Jadi dengan pengelola yang baru ini seolaholah Papandayan akan
dijadikan kawasan wisata konvensional, yang artinya terbuka untuk siapa saja
dengan tujuan apa saja, bukan hanya untuk pendaki, tapi untuk turis harian juga.
Hal ini membuat harga tiket masuk papandayan pun meroket naik, bagi para
pendaki yang sebeumnya sudah pernah ke Papandayan hanya membayar sekitar dua puluh ribu rupiah (Rp.
20.0000) untuk parkir dan tiket masuk, sekarang untuk saya dan teman saya saja
kami mengahibiskan seratus empat puluh ribu rupiah (Rp. 140.000)untuk dua tiket
masuk dan satu unit motor, jika dikurangi dengan motor (Rp. 17.000) maka
didapat seratus tiga puluh tiga rupiah (Rp. 133.000) untuk tiket masuk, berarti
sekitar enam puluh enam ribu (Rp. 66.000) per orang untuk tiket masuk, kurang
lebih naik tiga kali lipat dari sebelumnya (untuk weekend), sangat fantastis.
Tetapi hal tersebut juga sebanding dengan fasilitas yang diberikan oleh
pengeleola. Jalur pendakian yang sudah diperbagus, pengamanan yang cukup ketat
di tiap posnya, termasuk jaminan bagi kawasan tertentu (selain kawasan Tegal
Alun/jalur pendakian ke puncak masih dalam jaminan keselamatan) Informasi lain
yang saya dapat adalah, ada dua ekor babi "penguasa" di sekitar bumi
perkemahan, yaitu bernama Omen dan Ceko, tidak tahu dari mana asal nama
tersebut tapi yang penting keberadaan mereka sangat meresahkan camp. Ketika
subuh menjelang kami langsung bersiap- siap untuk melanjutkan perjalanan ke
perhentian utama kami, yaitu puncak Papandayan. Perjalanan kami mulai pukul
empat pagi, 5. degan membawa satu tas cerrier yang berisikan peralatan memasak
kopi, karean kami akan menikmati luasnya hamparan edelweis ditemani hangatnya
kopi pagi hari.
Tegal Alun.
Tegal alun boleh dibilang tujuan akhir bagi para
pendaki yang kurang tertarik untuk menaklukan puncak, karena ketinggian tegal
alun hampir menyamai ketinggian puncak, yaa kurang lebih beda 10 sampai 12
meter, disisi lain puncak Papandayan yang tidak seperti puncak gunung pada
umumunya, jika puncak gunung- gunung lain berupa hamparan luas dengsn view yang
jelas terlihat kebawah, berbeda dengan pucak Papandayan yang ditumbuhi
pepohonan dan semak- semak.
Ada sedikit kekeliruan yang saya lihat pada
penempatan puncak Papandayan ini, sebagian ada yang bilang puncaknya berada di
Tegal Alun atau di padang edelweis, sebagai lagi mengatakan puncakya ya ada di
ketinggian tertinggi Papandayan, yaitu naik sedikit lagi dari Tegal alun.
Mungkin karena pucak tertinggi Papandayan ini berada di tengah semak seperti
yang saya bilang tadi maka sebagaian orang lebih memilih menempatkan sendiri
puncak Papndayan di Tegal Alun. Bagi saya pribadi, puncak ya puncak, yaitu
tempat tertinggi dari tempat tersebut, jadi Tegal Alun belum lah bisa dikatakan
puncak Papandayan. Perjalanan dari Pondok Saladah kami mulai kurang lebih pada
pukul empat pagi. Kali ini kami tidak hanya berdua, obrolan di warung unggunan
semalam membuat kenalan kami bertambah, alhasil ada sekitar 7 orang yang ikut
dengan kami nanjak ke Tegal alun. Track menanjak yang cukup curang kami lalui
secara perlahan, mengingat ada dua pendaki perempuan yang ikut dengan kami.
Dengan sedikit mengurungkan niat untuk bisa cepat sampai, kami memilih untuk
sering berhenti untuk mengambil napas seraya menunggu yang lain mendekat. Medan
track yang cukup berat membuat kami terbagi atas dua rombongan atau grup, grup
satu yaitu yang memimpin tracking terdiri dari saya, teman saya, dan salah
seorang kenalan dari ibukota, grup yang kedua terdiri dari dua pasang laki- laki
dan perempuan, yang kami sendiri tidak tahu asalnya darimana.
Pukul lima lewat lima belas menit grup satu sudah
menginjakakan kaki di Tegal Alun. Subhannallah.. Dalam hati saya berkata,
sangat indah sekali, hamparan luas bunga edelweis yang tidak terlalu mekar
membuat mata susah untuk berkedip, meskipun keadaan saat itu masih gelap, namun
tak sedikitpun mengurangi rasa kagum saya terhadap tempat ini. Sejenak kami
melepas penat di plang yang bertuliskan "ANDA BERADA DI WILAYAH KONSERVASI
TEGAL ALUN", seraya menunggu grup dua datang.
KIU!!KIU!!KIU!! Teman saya
bersorak bak manusia hutan, sebagai sinyal yang dikirimkan ke rombongan
dibelakang kami, untuk mengetahui jarak kami dengan mereka, bagi kalian yang
sering naik gunug khususnya di wilayah garut dan sekitarnya pasti tidak asing
lagi dengan suara tersebut. Tak lama suara 6. itu dilontarkan, datang balasan
yang menandakan grup dua sudah dekat. Jadi kami bisa melanjutkan perjalanan ke
tujuan selanjutnya, yaitu Danau.
Dari awal sebenarnya tujuan utama saya dan teman
saya adalah puncak Papandayan yang tertutup hutan seperti yang saya katakan
diatas, salah satu petunjuk untuk menemukan track ke puncak yaitu danau Tegal
Alun, nah tanpa pikir panjang kami langsung melanjutkan perjalanan dengan
mengikuti track yang sudah ada, sekitar lima menit berjalan di tengah padang
edelweis kami sudah meliat hamparan genangan air yang cukup luas, yap! Itu lah
danau, sebenarnya lebih terlihat seperti telaga sih (menurut persepsi saya
terhadap danau, karena di Sumatera sana tidak ada sebuah perairan yang luasnya
kurang dari 1 km persegi disebut dengan danau). Saya tidak tau nama danau
tersebut karena setiap mendengar obrolan perihal danau tersebut tak sekali pun
saya dengar tentang namanya. Disana kami tidak bisa berlama- lama, karena niat
ingin menikmati sunset di puncak kami harus segera melanjutkan perjalanan yang
tinggal "selangkah" lagi, tentunya setelah mengambil beberapa gambar
melalui kamera ponsel kami masingmasing.
Puncak Papandayan.
Nah disini ada kejadian yang tidak biasa, bagi
kalian yang bepersepsi negatif pasti sudah berimajinasi atau membayangkan hal-
hal yang diluar akal sehat. pukul lima lewat lima puluh lima menit dari danau
kami beranjak ke daerah peopohonan lebat (hutan) yang lembab. Tracknya cukup
menanjak sehingga kami harus berhati- hati jika tidak ingin terpeleset dan
berguling- guling lalu tercebur ke danau. Beberapa menit perjalanan berlalu
sampai kami menyadari tidak ada track atau jalur yang benar, setiap track yang
kami pilih selalu mengarah ke akar/ranting pohon Cantigi yang seolah- olah
menghalangi kami untuk lewat, lama rasanya waktu yang kami habiskan untuk
berputar- putar, hingga bolak balik sampai pada akhirnya kami menyadari bahwa
track yang kami pilih sudah kami lalui sebelumnya, teman dari ibukota sudah
berpikir negatif dan membuat saya pun ikut terpengaruh dalam pikiran- pikiran
negatif, kami pun memutuskan untuk kembali, setelah melakukan beberapa kali
percobaan yang kurang berhasil.
Sebenarnya ada sekali percobaan yang agak berhasil,
dari tempat tersebut kami sudah bisa melihat pepohonan dipuncak, namun lagi-
lagi (alam seperti berkonspirasi) ada tumbuhan ilalang yang sangat rapat
sehingga menghalangi jalur kami. Selanjutnya kami hanya bisa pasrah terhadap
alam dan menikmati tiap detiknya di danau dan Tegal Alun.
Lama kami habiskan waktu di sana, mulai dari
bernyanyi- nyanyi, berfoto- foto ria, sampai menyeduh kopi hangat yang membuat
sempurna pagi itu, ingat usahakan sebaik mungkin tidak mengganggu keberadaan
Edelweisnya ya apalagi memetik, sangat tidak disarankan bagi kita yang masih
mau dibilang manusia waras. Hangatnya matahari sudah mulai teras terik dikulit,
saatnya kami beranjak meninggalkan Tegal Alun beserta 7. Edelwisnya yang
menawan.
Hutan Mati.
Tempat ini adalah primadona bagi turis- turis
papandayan yang bisa dibilang masih awam. Kenapa pakai kata "awam"?,
ya, karena Hutan Mati belum bisa menyaingi ke-primadonaan Tegal Alun (menurut
persepsi saya), bukan berarti saya tidak menyukai Hutan Mati, tapi saya agak
sedikit kecewa dengan persepsi masayarakat, memang Hutan Mati sangat indah
bahkan menawan dan mempunyai aura tersendiri, tapi dengan persepsi masyarakat
tersebut membuat seolah- olah menutupi keberadaan Tegal Alun dengan cerita-
cerita tentang keindahan Hutan Mati. Mungkin hanya pikiran saya saja atau
memang begitu adanya. Jadi saran saya bagi pendaki- pendaki papandayan(bukan
turis harian), jika sanggup, kuatkanlah kaki kalian untuk bisa selangkah lagi
menaklukan tanjakan bukit untuk sampai ke Tegal Alun, supaya kalian tahu bahwa
Papandayan itu tidak Hanya hutan Mati saja, tidak hanya Kawah belerang saja,
tapi juga ada satu tempat yang tak kalah indahnya. buat dunia tahu bahwa
Papandayan mempunyai banyak tempat- tempat menawan. Saya menyusul teman saya
yang sudah terlebih dulu sampai di hutan mati, karena sebelumnya saya membantu
teman dari ibukota untuk berfoto-foto, karena dia ingin langsung kembali ke
camp. Pada saat kami turun, pendaki lain mulai banyak yang naik ke arah Tegal
Alun, kami seolah melawan arus. Suatu kebanggaan tersendiri ketika kita bisa
sampai disuatu tempat selangkah didepan yang lain, Ahay!.
Memang indahnya Hutan Mati punya ciri khasnya
sendiri, apalagi ditambah dengan hangatnya pagi hari, membuat pagi saya sangat
sempurna, satu hal yang sangat saya syukuri pagi itu adalah belum adanya kabut
yang dihasilkan pegunungan sehingga mata bisa sepuas mungkin memandangi
keindahan pegunungan Papandayan, tak peduli sejauh apapun itu, Hutan Mati tak
terasa begitu mati, mereka hidup memaluk setiap pendaki dengan auranya yang
sangat mengesankan. Beberapa menit kami habiskan di Hutan Mati, kami harus
segera kembali ke camp sebelum perut melakukan pemberontakan di internal perut
kami. Sempat tersesat, karena jalur yang kami lalui dari camp ke Tegal Alun
tidak sama dengan jalur dari camp ke hutan mati, tapi tidak begitu merusuhkan
sehingga tak lama kami sudah berada pada jalur yang tepat.
PULANG.
Arloji menunjukan pukul sebelas lewat empat puluh
menit, kami harus segera turun sebelum kami diguyur gerimis bersambut kabut
tebal. Setelah melahap santap siang yang kami masak seada- adanya, kami
langsung packing dan membersihkan area tenda supaya tidak maninggalkan jejak
apapun. 8. Lagi- lagi ada seorang kenalan dari unggunan malam hari menawarkan
kami untuk ikut turun bersama. Tanpa menolak tawaran tersebut kami langsung
bergegas menyelesaikan "operasi sapu bersih" dan langsung
melangkahkan kaki untuk pulang, tentunya setelah kami melakukan pengecekan
ulang untuk menjegah adanya ketertinggalan barang bawaan. Kurang lebih tiga jam
perjalanan menuruni tanjakan berbatu mengambil jalur Hutan Mati-pos
persimpangan hingga sampai di gerbang masuk.
Berbeda dengan saat menuruni gunung- gunung yang
lain pada siang hari, jika disini banyak sekali turisturis harian yang mulai
memadati jalur ke Hutan Mati, layaknya turis harian yang tidak perlu melengkapi
diri dengan perlengkapan tracking membuat proses pendaki turun agak sedikit
terhambat. Namun hal tersebut tidak terlalu menjadi masalah karena kami juga
tidak terlalu terburuburu. Karena pada malam hari melewati jalur yang sama
keadaan sangat gelap, sehingga tidak dapat terlihat apa- apa kecuali track yang
kami pijaki, membuat saya terkagum- kagum, tak disangka perkiraan jalur yang di
lihat saat gelap ternyata sangat indah pada siang hari. Hal tersebut cukup
untuk ditempatkan sebagai momen perpisahaan saya dengan Papandayan. Tubuh yang
terasa sangat letih karena tidak adanya waktu kami untuk istirahat (tidur),
memaksa kami harus segera melapor ke pos keamanan, membeli souvenir, dan
langsung mengambil kendaraan lalu sesegera mungkin meninggalkan camp David
(lapangan Parkir).
Sebenarnya banyak cerita menyedihkan yang terjadi
ketika perjalanan pulang, tapi dirasa itu adalah tindakan kurang pintar dan
kurang mengandung unsur pelajaran didalamnya maka sebaiknya tidak dituliskan
disini. Mulai dari janjian dengan kenalan yang sesama turun dibatalakan secara
sepihak oleh kami, rasa letih yang membuat berkendara kami sangat- sangat tidak
savety. Semuanya terjadi karena efek kurang tidur, hujan, dan kurangnya
personel sehingga hanya kekuatan dari dua orang kurang tidur yang dimaksimalkan
saat perjalanan pulang. Perjalanan Garut- Bandung terasa seperti perjalanan
ekspedisi Sabang- Maraoke (lebay ah!)
Berikut saya persembahakan beberapa "mahakarya", sebagai penutup postingan edisi 2622 mdpl Papandayam Kali ini,
Sekian, Salam Petualang.
Music by: Banda Neira.
Comments
Post a Comment